Valuasi Hidup

Tak selamanya yang transaksional itu adalah tentang uang

Kata Pudin
9 min readJun 13, 2024

Bandung, 1 Juni 2024

Bada subuh aku sengaja mengajak Dilla dan Bara ngobrol tentang lomba Business Case. Dalam rangka apa? Sebenarnya cuma sharing aja tentang dunia per-biscase-an yang selama ini belum pernah mereka sentuh si. Tapi memang disclaimer saya belum jadi orang paling jago di bidang ini ya HAHA.

Singkat cerita, sampai pada satu titik kami ngobrol tentang value. Akupun bertanya,

“Oiya di bisnis, kalian harus tau ada namanya ‘value’. Kira-kira apa menurut kalian value itu?”

“Value itu ya nilai kak”, kata Dilla.

“Iya nilai”, timpal Bara.

“Okey, memang bener secara literal itu value artinya nilai. Namun, value itu bukan cuma soal nilai, tapi lebih ke apa yang sebenernya pengen kamu sampaikan. Contoh misal, Bara kamu kan jual roti Aoka. Itu kira-kira kamu jualan Aoka itu apa yang mau kamu jual? Fokus ke Aoka nya kah atau ngga?”

“Maksud aku gini. Kalo kamu fokus ke jual Aoka nya, harusnya kalo Aoka keluarin produk lain (selain roti), kek astor gitu, kamu akan jual itu juga. Tapi kalo ngga, misal untuk jadi sarapan anak asrama, ya kamu akan fokus ke ngejual sarapan (lainnya kalo misal gada Aoka atau ngeganti Aoka)”, tambahku.

“Ehm…, kalo aku sih sebenernya tujuannya buat makanan cemilan anak asrama aja sih kak.”, jawab Bara.

“Nah, oke kalo gitu kamu dapet, value nya adalah kamu jualan cemilan.

Ceritanya Aku, Bara, dan Dilla lagi diskusi. Sumber : Pinterest

Tentang Value atau Nilai

Seperti penjelasanku sebelumnya kepada Dilla dan Bara, value ini bukan cuma masalah nilai apa yang mau dikirimkan. Value itu sebuah hal abstrak tentang apa yang menjadi keberhargaan sesuatu. Tidak semua orang mempunyai value yang sama terhadap bubur ayam 5000 dengan porsi kuli. Bagi mahasiswa, bisa jadi bubur ini value nya jauh lebih tinggi daripada bagi orang-orang kaya.

Setiap barang atau benda pasti memiliki value, termasuk manusia. Value itu pun akan memiliki nilai bergantung dari waktu, perspektif, dan substansi. Memang, secara umum sifatnya terkadang subjektif. Namun, berbicara tentang value manusia, ada banyak aspek yang bisa memengaruhi. Bisa soal prestasi, akhlak, keimanan, pemikiran, tindakan, ataupun relasi. Namun, bisa saja ada dari faktor yang tidak disebutkan, misalkan keberuntungan :D

Contohnya kita pernah sesekali terpukau dengan kehebatan orang karena suatu hal, atau bahkan sampai pada tingkatan FOMO. Misalnya kita takjub pada orang-orang yang bisa menghafalkan quran 30 juz. Kita terkagum pada orang yang bisa menyeimbangkan antara duniawi dan akhiratnya. Kita FOMO dengan orang yang pace larinya bisa mencapai angka 4. Itu semua terjadi karena bagi kita, mereka semua memilik value yang luar biasa. Bagi kita, value itu menjadi lebih memberi efek kagum pada diri karena valuenya merupakan hal yang tidak kita miliki. Namun, jika kita melihat seorang anak berusia 3 tahun yang sudah mulai pandai untuk makan sendiri saja kita tidak begitu kagum karena merasa value makan sendiri bukanlah value yang lebih baik bagi diri kita.

Namun, bagi kedua orang tua, melihat tumbuh kembang anak di setiap harinya adalah sebuah value yang sangat sangat berharga. Sebab, anaknya tidak hanya dilihat sebagai sebuah individu bernyawa, tetapi juga anak adalah keringat, darah, dan waktu yang mereka tuangkan dan jadilah anak dengan segala kekurangan serta kelebihannya saat ini. That’s value.

Value Manusia

Terus, jika kita berbicara soal value seorang manusia itu juga tidak berhenti sebatas membicarakan faktornya darimana dan apa saja. Kebetulan, di hari ini aku menonton sebuah podcast Fellexandro Ruby bersama mba Farina Situmorang yang lagi ngobrolin tentang tiga hal yang dibutuhkan untuk bertumbuh dalam hidup. Kalian bisa juga tonton di sini.

Intinya, salah satu aspek yang dibahas adalah tentang relasi/networking. Dalam berelasi, salah satunya adalah untuk mentorship, kita perlu punya value.

“Kalo lu ingin dapet mentor dari orang yang lu lihat mereka keren dan lu harus dapetin itu, ya lu harus punya value untuk kenal dengan orang itu.”

Kurang lebih itu sih kata mba Farina. Value ini yang dimaksud adalah hal-hal yang membuat kita bisa dinotis oleh orang tersebut. Misalnya karena kita secara background punya kesamaan atau hal yang dicari oleh orang tersebut atau bisa saja karena kita dikenalkan oleh teman dekatnya sehingga value kita tadi tidak hanya bermodalkan background, tetapi juga kita mengenal orang ini dari ini dan itu, lalu tersambung. Aku lebih suka menyebut kita dapat modal trust dari temannya tadi.

Namun, persoalan value manusia ini pun aku amini. Kenapa? Karena memang sepenting itu value untuk kita bisa membuka relasi lebih jauh dengan banyak orang daripada cuma sekadar say hi dan cukup tau. Salah satu contohnya ketika aku di beberapa bulan lalu ingin mencoba mengajak teman yang kuanggap dia sudah lebih berpengalaman dalam suatu perlombaan untuk satu tim. Dia memang tidak menolak karena aku belum pernah menang atau apapun, memang waktu itu alasan yang disampaikan adalah lebih kepada waktu yang tidak tepat. Namun, aku tidak bisa mengamini itu sepenuhnya karena alasan “waktu yang tidak tepat”. Beberapa bulan kemudian, dia setim dengan orang lain yang aku kenal juga cukup memiliki prestasi di bidang perlombaan yang sama dan mereka berhasil juara di tingkat yang lebih hebat lagi memang.

Namun, aku akhirnya belajar satu hal dari sini. Apa itu? Memiliki value sangatlah penting sebelum kita berharap jauh dalam sebuah relasi.

Persoalan Hubungan Manusia itu Pasti Transaksional

Apakah kalian pernah mendengar di buku/podcast/manapun jika katanya hubungan antar manusia tidak mungkin tidak transaksional?

Nah, sebelum membahas statement tersebut, aku ingin mengajak kita melihat konsep prioritas waktu. Dalam hidup, kita diberi Tuhan waktu 24 jam dalam 7 hari seminggu. Waktu yang sangat panjang (harusnya) untuk kita bisa berbuat apapun, mau yang bermanfaat, maupun tidak. Namun, semakin dewasa kita memang kegiatan kita jadi lebih ber-value. Kenapa? Karena semakin dewasa, kita menemukan value kita. Sebagai contoh, setelah berkuliah, ada saja hal yang sudah tidak pernah kita lakukan lagi semasa kecil atau justru baru kita ciptakan setelah berkuliah. Kita jadi harus memikirkan alokasi waktu untuk mengerjakan tugas karena tahu ini kewajiban untuk bisa mendapatkan nilai dari perkuliahan dan akhirnya bisa lulus dari kampus. Contoh lain ketika kita memikirkan alokasi waktu untuk ikut magang atau kompetisi karena kita tahu kita butuh pengalaman lebih untuk diterima di dunia kerja agar kita bisa mendapatkan penghasilan sendiri nantinya.

Atas beragam value yang baru kita temukan sembari proses pendewasaan ini, kita merasa perlu menyeleksi dan mengatur lagi segala kegiatan kita. Kita mulai belajar memetakan mana saja kegiatan yang penting dan tidak. Mana kegiatan yang mendesak dan tidak.

Activity Prioritization Matrix. Sumber : Qubisa

Nah, menentukan mana yang penting dan tidak juga tentu akan bergeser standarnya sesuai dengan value yang kita punya. Kebetulan, mentorku di RK, bang Afkar, pernah mengatakan jika memang semakin dewasa kadang kita bisa saja merasa malas. Namun, itu bisa saja terjadi karena ada kegiatan yang tidak punya value untuk kita. Jadi, memang kita merasa malas karena merasa itu tidak ada valuenya atau tidak penting lagi.

Masalah pengaturan kegiatan dan kesibukan pun juga mempermasalahkan value. Diri kita terbangun atas kegiatan dan apa yang pernah kita lakukan. Sampai pada akhirnya, setiap apa yang kita lakukan value-value nya membentuk value diri kita. Semakin dewasa juga, tidak jarang kita merasa pertemanan kita jadi makin sempit. Namun, itu bukan karena memang kita semakin sulit akrab dengan orang, tetapi orang-orang pun sudah mulai menemukan value nya masing-masing dan diri kita saat ini hanya cocok untuk berteman dengan beberapa orang secara intens karena valuenya sama. Kita sama-sama merasa ada di situasi yang antara kita dan teman kita bisa saling memberikan value yang kita butuhkan. Inilah yang sebetulnya dinamakan hubungan transaksional.

Kejadian kita yang hanya bisa mempertahankan pertemanan intens yang value nya sama dengan kita ini menggambarkan bahwa memilih waktu dan kegiatan dengan siapa kita bergaul pun didasari atas transaksional value ini tadi. Jadi, jika orang bilang hubungan manusia itu transaksional apakah salah? Tidak. Namun, bukan transaksional uang saja yang dibutuhkan, tetapi bisa jadi adalah value yang bisa berupa benefit langsung atau kesamaan visi hidup.

Kebutuhan Value setiap Manusia

Pernahkah kalian coba DM seorang influencer yang cukup keren bagi kalian untuk meminta saran darinya atau sekadar ingin berkenalan? Namun, ternyata mereka tidak pernah menotis atau bahkan membalas pesan-pesan kita, sama sekali hingga detik ini. Lalu, tidak lama kita melihat mereka melakukan pengabdian masyarakat, mengajar anak-anak di daerah yang kekurangan. Lantas kita bergumam dalam hati,

“Ah betapa beruntungnya anak kecil itu bisa berkenalan dengan influencer itu. Padahal, dia cuma anak SD. Aku yang sudah memiliki prestasi jauh lebih hebat bahkan masih belum bisa berinteraksi langsung. Apakah anak SD itu lebih ber-value dariku?”

Jika ingin dijawab, memang jawabannya bisa jadi “iya”.

Value itu bukan berarti persoalan kita lebih hebat atau tidak. Memang, dalam berhubungan antar manusia itu ada transaksionalnya. Memangnya apa yang influencer itu cari dari berinteraksi dengan anak SD? Apakah anak SD itu memberi donasi pada influencer itu? Nah, di sini seringkali menjadi letak kesalahan pikir kita.

Anak SD tadi memberi value kebahagiaan bagi sang influencer. Kebahagiaan dan kepuasan atas membantu orang-orang di pelosok memberikan value tersendiri bagi sang influencer yang sedang ia butuhkan dan mungkin tidak akan dia dapatkan jika berinteraksi dengan kita, bahkan sesimpel hanya untuk membalas pesan kita. Lagi-lagi, jika diuraikan dengan teori sebelumnya, influencer ini menilai membalas pesan kita bukanlah hal yang value nya mereka butuhkan saat ini dan masih ada kegiatan dengan value lain yang lebih dibutuhkan yang perlu dilakukan.

Hubungan Value dengan Relasi

Kembali lagi soal relasi, kita harus punya value dalam berelasi. Kita memang bisa saja dengan cara apa memiliki kontak CEO dari perusahaan ternama. Namun, jika kita pernah berkenalan dan punya kontak CEO ini, apakah lantas membuat kita bisa membangun relasi yang baik dengan beliau? Belum tentu juga, bahkan bisa jadi jawabannya “tidak”. Sebab, mungkin saat ini kita adalah seorang staf biasa atau pekerja di bidang tertentu yang memang tidak sedang memiliki kesibukan, seperti CEO ini. Jadi, mungkin agak susah jika kita akan punya hubungan yang sustain dan lebih jauh dengan beliau.

Namun, bukan berarti kita tidak bisa memiliki networking dengan CEO ini. One day, ketika kita bisa berhasil menjadi bos vendor yang jasanya sangat dibutuhkan oleh CEO ini atau ketika kita menjadi CEO perusahaan tertentu, kita bisa juga kok untuk punya networking yang bagus dengan CEO ini. Namun, memang itu kan harus diusahakan dan dikerja keraskan dulu, baru bisa tercapai. Agak wajar jika memang sekarang, kita terkesan belum bisa membuat sebuah networking yang baik dengan CEO. Bisa jadi memang level kita belum di tahap sana.

Bang Firu, seorang influencer alumni ITB 2011 dan alumni RK ini, pernah juga membahas tentang value dalam networking. Se-enggaknya kalian bisa tonton agar lebih paham dengan mudah, wkwk.

Key Takwaways

Jadi, bagaimana tentang value diri kita sendiri? Sudah sebagaimana value kita atau sudah seperti apa value kita saat ini?

Value merupakan hal yang penting dalam hidup manusia. Manusia hidup dengan value nya masing-masing karena Allah ciptakan manusia itu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku untuk mengais setiap celah ladang amal kontribusi di dunia ini. Kadang, ada orang yang berhasil memanfaatkan segala situasi hidupnya untuk meraih value setinggi-tingginya, misalnya jadi mapres. Namun, ada juga yang belum berhasil. It takes time.

Tingkatkanlah value untuk meningkatkan keberdampakanmu!

Kemudian, banyak orang bilang, relasi atau networking tadi itu juga bagian dari privillege. Memang itu benar. Jadi, memperbesar value itu juga bagian ikhtiar kita dari memperbesar networking yang ujung-ujungnya memperbesar privillege kita juga. Nah, kemudian kalau soal privillege, apakah itu juga sebuah hal yang wajar jika digunakan? Atau justru sedikit menurunkan harga diri kita karena terkesan “less effort” untuk mendapatkan sesuatu daripada orang lain? Lantas, bagaimana jika kamu anak presiden dan ingin mencalonkan menjadi cawapres? Eh, ups :v

Oleh karena itu, sampai jumpa di episode selanjutnya karena kita akan membahas tentang privillege!

Tentang Katapudin

Halo, perkenalkan namaku Pudin, seorang mahasiswa Sistem dan Teknologi Informasi di Institut Teknologi Bandung saat ini. Aku sangat suka menulis tentang hidup, teknologi, buku, serta hal-hal random lainnya dan mulai menulis di Medium sejak 2022.

Sebagai orang yang sering overthinking dan overanalysis, menulis sangat membantuku berpikir lebih baik sekaligus menyebarkan pemikiranku kepada banyak orang. Aku suka berdiskusi dan juga punya mimpi besar untuk membuat Indonesia yang lebih baik dan bermartabat.

Hubungi aku lebih jauh di Instagram. Mari kita berkoneksi, berdiskusi, dan bersama-sama membangun Indonesia yang lebih baik!

--

--

Kata Pudin

Sastra Teknologi dan Informasi || Terbit setiap Kamis sore