Belajar Memimpin Anjing dan Singa
Kepemimpinan 101 : Lebih Terasa(h) Jika Diamalkan
Selamat datang di dunia kepemimpinan! Kata “Kepemimpinan” atau “Pemimpin” mungkin tidak akan asing di telinga kita. Yaiyalah, sudah sedari sekolah dulu kita sering mendengar kata ini bukan?
Ketika berdiskusi tentang apa itu kepemimpinan, ada beberapa pendapat yang akan disampaikan. Ada yang menyampaikan jika kepemimpinan adalah tentang memberi pengaruh pada orang lain, melayani orang lain, atau memberi perintah orang lain. Yang mana yang benar? Semuanya! Kepemimpinan memang tentang bagaimana kita memberi pengaruh kepada orang lain, untuk melayani orang lain, dan mencapai tujuan bersama. Namun, itu tidak lebih dari sekadar pengertian teknis. Bukan tidak penting, tanpa teknis memang kepemimpinan tidak akan berjalan. Namun, kalau kita hanya memandang kepemimpinan hanya sebatas ranah teknisnya saja, sayang bukan? Padahal, kepemimpinan lebih luas dari itu!
Kepemimpinan sejauh ini bisa dimaknai sebagai empat hal (bisa lebih dari ini jika ada yang bisa memaknai lebih wkwk).
- Esensi Hidup
Kepemimpinan sebagai esensi hidup merupakan cara memandang kepemimpinan sebagai suatu esensi dalam hidup kita. Esensi dalam KBBI berarti inti/hal yang pokok. Jika ditinjau dalam Al-Qur’an, Allah pun menjadikan manusia sebagai khalifah (pemimpin) di muka bumi dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 30. Artinya, jika kita ingin mengikuti agama, harusnya kita juga menjadikan kepemimpinan sebagai esensi hidup.
Selain itu, secara implementatif kurang lebih contohnya seperti ini. Misalnya dalam menentukan langkah, visi, dan mimpi ke depan, kita akan mempertimbangkan banyak hal. Nah, apapun langkah, visi, dan mimpi yang kita tentukan itu akan selalu bermuatan kepemimpinan jika kita memaknai kepemimpinan sebagai esensi hidup. Contohnya alih-alih membuat visi untuk mendapatkan hidup yang lebih baik, seseorang dengan esensi hidup kepemimpinan akan menulis untuk bisa memberi dampak positif lebih untuk orang lain. Lihat kan? Perbedaannya adalah pada orientasi tentang langkah ke depan yang selalu harus bisa “melayani”, “memengaruhi”, dan “memikirkan” orang lain, sebagaimana definisi teknis kepemimpinan yang kita bahas di awal tulisan ini. - Paradigma
Paradigma dalam KBBI dimaknai sebagai kerangka berpikir. Dalam dunia pemrograman, paradigma juga dimaknai sebagai suatu cara memodelkan susunan kode untuk membangun program yang lebih besar. Paradigma kepemimpinan adalah suatu kerangka berpikir tentang menghadapi banyak hal dalam hidup dengan acuan kepemimpinan. Misalnya, ketika dalam suatu kompetisi, kita baru tau ada orang lain yang sudah biasa menjadi jawara dalam kompetisi serupa juga berpartisipasi bersaing dengan kita. Kemudian, kita merasa minder dan malah sudah menyerah dulu sebelum berjuang. Orang yang memiliki paradigma kepemimpinan justru akan berpikir sebaliknya. Ia mengakui walaupun ada jawara di sini, tetapi ia selalu bisa berpikir “selama kompetisi belum berakhir, disitu selalu masih ada kesempatan untuk menang, sekecil apapun dan asal tidak 0%”. Ia memimpin mentalnya sendiri untuk berjuang memberi yang terbaik terlebih dahulu alih-alih harus menyerah sebelum berjuang. Apalagi jika kompetisi ini dalam format tim, tentu mentalitas pemimpin ini penting untuk membawa tim kita bisa mengeluarkan performa terbaiknya. - Sikap
Sebagai sebuah sikap, kepemimpinan sudah cukup jelas maknanya. Jika menyambung dari contoh kompetisi pada poin Paradigma, ketika kita memang memiliki sikap kepemimpinan, kita akan melakukan sikap berusaha yang terbaik dan bermain secara fair, menghormati aturan yang ada. Kita tidak akan banyak mengeluh karena kita paham jika “pengeluhan” bisa berdampak pada anggota tim atau bahkan mentalitas kita sendiri. Selain itu, dalam contoh kasus lain, misal dalam berorganisasi, sikap kepemimpinan bisa ditunjukkan untuk menjadi pemimpin yang baik, misalnya tetap objektif dalam menghadapi masalah, menghargai pendapat orang lain, mengajak pada kebaikan, dan mengetahui cara membawa tim menyukseskan tujuan bersama. - Karakter
Perbedaan karakter dan sikap terletak pada poin kesadaran. Biasanya, hal-hal yang kita lakukan secara sadar adalah sebuah sikap. Namun, seluruh hal, baik yang kecil, maupun yang besar, adalah sebuah karakter. Karakter meliputi hal-hal yang biasanya tidak kita sadari. Dalam konteks karakter kepemimpinan, kita akan selalu melakukan hal-hal kecil dan besar dengan acuan kepemimpinan. Hal ini paling mudah dirasakan oleh orang lain saat berinteraksi dengan kita. Mereka akan dengan mudah menilai ini karena bukan hal yang kita sadari, tetapi juga turut berdampak. Contoh dari karakter kepemimpinan ini, misalnya saat menaiki transportasi publik kita mendahulukan kelompok rentan, memahami adab memakai fasilitas umum (seperti toilet), dan selalu berusaha apapun yang kita kerjakan, tidak meninggalkan “sesuatu” yang bisa menyusahkan atau membuat tidak nyaman orang lain.
Namun, seringkali saat mau memulai memimpin kita mendengar kalimat,
“Sebelum memimpin, kita harus selesai dengan diri sendiri”
Sebetulnya, kalimat ini tidak salah. Sebab, jika kita masih kesulitan untuk berkomunikasi dengan baik, apakah tidak akan membuat koordinasi dengan orang lain jadi terhambat? Namun, di sisi lain, sering kali juga yang menjadi pertanyaan adalah “Tapi kapan selesainya?”. Hal-hal semacam ini yang sering membuat kita tidak segera memulai memimpin.
Alih-alih menghadapi paradoks “selesai dengan diri sendiri”, mengapa kita tidak sembari memimpin, sembari “menyelesaikan” dengan diri sendiri? Walaupun dengan kekurangan, misalnya masalah komunikasi yang baik, kita mulai saja dulu untuk mengambil inisiatif memimpin. Sembari berjalan, kita bisa memilih opsi menggunakan growth mindset untuk bisa belajar dan mendengarkan feedback dari sekitar tentang bagaimana komunikasi kita dan cara memperbaikinya. Oleh karena itu, daripada memikirkan kapan selesai dengan diri sendiri, lebih baik segera mulai ambil inisiatif dan gunakan growth mindset untuk mulai memimpin.
Ibarat mendaki sebuah gunung. Daripada memikirkan apakah tubuhmu sudah cukup bugar dan kuat untuk mencapai puncak, kenapa tidak memulainya terlebih dahulu dan mengamati orang lain yang juga sama-sama mendaki agar bisa ke puncak? At least, ketika kita benar-benar tidak mencapai puncak, kamu sudah jauh lebih dekat dengan puncak daripada mereka yang masih sibuk berpikir dan tidak memulai untuk mendaki bukan?
Dalam mengembangkan kepemimpinan, kita bisa belajar dari teladan untuk memberikan kepemimpinan yang lebih baik. Ada dua tokoh dengan kisah menarik yang diangkat di sini.
Pertama, ada Sam Altman, CEO OpenAI. Pada 17 November 2023, secara tiba-tiba ia dipecat oleh dewan direksi OpenAI. Alasannya adalah dewan direksi tidak bisa percaya lagi kepada Sam Altman dan mengangkat pengganti sementara, yaitu CTO mereka, Mira Murati. Hal ini tentu membingungkan karena beberapa waktu sebelumnya publik menilai OpenAI sedang naik-naiknya dengan beragam inovasi, terutama rencana launching GPT-5 yang diumumkan sendiri oleh Sam Altman.
Namun, siapa sangka ternyata malah Microsoft menangkap peluang ini. Microsoft, perusahaan mitra yang banyak mendanai OpenAI, justru mengangkat Sam bersama dengan Greg Brockman untuk memimpin Unit Riset Advanced AI Microsoft. Selain itu, ternyata kejadian pemecatan Sam ini memicu reaksi tak terduga dari karyawan OpenAI. Sekitar pukul 17.10 waktu setempat di hari Senin setelahnya, sebanyak 738 dari 770 karyawan mereka menandatangani semacam surat petisi pengunduran diri jika Sam Altman tidak dikembalikan menjadi CEO mereka. Ini angka yang tidak terduga, hampir 95% perusahaan yang ingin mengundurkan diri! Ini adalah angka telak untuk dewan direksi OpenAI. Singkat cerita, kisah ini berakhir dengan kembalinya Sam Altman ke posisi CEO OpenAI.
Ada yang menarik dari kisah ini. Menjadi sebuah pertanyaan besar ketika hampir 95% isi perusahaan bereaksi dengan keras ketika pemimpin mereka pergi. Artinya, Sam Altman telah berhasil membuat suatu kepemimpinan yang sangat berkesan bagi siapapun di dalam OpenAI. Bisa dibilang, Sam Altman sudah selesai dengan dirinya sendiri bukan?
Kisah kedua, datang dari Ibu Tri Rismaharini, seorang Menteri Sosial RI saat tulisan ini ditulis dan sekaligus mantan Walikota Surabaya (2010–2015 & 2016–2020). Coba tonton cuplikan video ini :
Bu Risma merupakan salah satu sosok panutan yang cukup mengubah banyak hal di Surabaya. Selain mengubah fisik dan pelayanan kota, Bu Risma dianggap berhasil mengubah hati masyarakat yang hampir tidak ada yang bisa membantah seberapa berhasil beliau bekerja di Surabaya. Jika kalian menyimak juga pada video Mata Najwa tersebut di part 1 dan part 2, kita bisa secara utuh melihat teladan yang begitu unik dari beliau. Beliau seolah-olah memiliki esensi hidup, paradigma, sikap, dan karakter sebagai seorang pemimpin. Terlihat dari apa yang beliau sering lakukan daripada kebanyakan walikota lainnya, prinsip beliau memandang bagaimana cara melayani warga Surabaya, dan masalah pertanggungjawabannya terhadap Allah di akhirat nanti. Visi beliau sangat patut ditiru karena esensi kepemimpinannya sudah mencapai tingkat akhirat, bukan lagi sekadar duniawi.
Untuk memperoleh pemahaman lebih lengkap terkait hubungan keempat definisi kepemimpinan tadi, kurang lebih digambarkan dalam skema berikut :
Per hari ini, ada miliaran orang yang pernah hidup dan ada miliaran lainnya yang masih hidup di dunia. Diantara miliaran itu, ada jutaan pemimpin hebat tercipta untuk memimpin dan memberi dampak bagi sekitarnya, sesuai dengan ceruknya masing-masing. Namun, diantara itu hanya ada ribuan orang yang namanya cukup dikenal oleh orang banyak hingga kini. Dua tokoh di atas telah berhasil menjadi dua diantara ribuan orang tersebut. Pertanyaannya, setelah kita menyadari tentang kepemimpinan ini secara utuh, apakah kita mau hanya menjadi yang miliaran saja? atau kita akan bergerak maju menjadi bagian dari jutaan atau ribuan orang ini? Itu tergantung keputusan kita!
Referensi :
[1] https://www.wired.com/story/openai-staff-walk-protest-sam-altman/
[2] https://www.jawapos.com/teknologi/013299554/terungkap-alasan-sam-altman-dipecat-dari-openai-tak-lagi-dipercaya-perusahaan