Bagaimana Menurutmu Soal Menikah?

“Ah jangan bahas itu, belum saatnya!”

Kata Pudin
8 min readMay 16, 2024

Disclaimer : Tulisan ini ditunaikan bukan karena faktor buru-buru nikah atau sebab lainnya. Tidak juga untuk menggurui tentang pernikahan karena penulis saat ini ditulis juga belum menikah :D. Please be wise!

Buku Amar Ar-risalah. Sumber : Goodreads

Memang pada akhir-akhir ini, saat tulisan ini dicetuskan, kebetulan di RK sedang fokus membahas pembinaan karir dan pranikah. Oleh karena itu, aku juga beberapa kali meliterasi tentang hal ini dari berbagai sumber, salah satunya buku Amar Ar-risalah tentang “Karena Menikah Tidak Sebercanda Itu”. Jadi, apa yang mau dibahas?

Ketika aku memantik bahasan tentang menikah, tidak sedikit orang yang kutemui merasa tidak ingin membahas itu. Bahkan, juga terkadang merasa, “Kita masih jauh dari itu. Tidak perlu membahas itu.” Menikah memang banyak orang berkata seakan-akan membuka dimensi baru hidup. Ingat ya, dimensi! Bukan cuma lembaran. Artinya, sebuah tempat, suasana, dan kebiasaan yang baru.

Mungkin sampai paragraf ini beberapa pembaca bertanya, memangnya Pudin sudah mau nikah? Kok bahas-bahas dan belajar begituan? Nah, ini lah yang ingin kusampaikan pada teman-teman melalui artikel ini.

Belajar tentang pernikahan itu tidak serta merta karena besok pasti menikah. Namun, lebih menyadarkan diri bahwa ada banyak ruang introspeksi diri yang perlu diisi!

Tentang Ayah Ibu

Bagaimana pendapatmu tentang ayah dan ibu kita? Apakah mereka orang dewasa yang luar biasa? Apakah mereka orang dewasa yang pernah kecil? Iya, mereka luar biasa karena begitu sabar bisa merawat kita dengan segala dinamikanya hingga saat ini. Mereka juga pernah mengalami masa kecil dan bertumbuh. Artinya, mereka juga pernah berada di titik kita saat ini. Seharusnya, kenyataan ini menjadi sebuah tanda tanya bagi kita yang harus kita pelajari. Jika kita sekarang masih punya banyak kekurangan, belum sabaran, atau apapun itu, tetapi besok harus terus bertumbuh, bisa kah kita menjadi sama kuatnya atau bahkan lebih kuat dari orang tua kita?

Mungkin tidak semua dari kita punya kisah manis dengan orang tua. Ada yang tidak baik-baik saja atau bahkan, maaf, broken home. Namun, setidaknya kita tahu bahwa itu adalah orang tua kita. Kita hidup dengan pilihan kita masing-masing. Kita bukanlah buah jeruk yang jika ditanam bijinya akan tumbuh jeruk juga.

Kembali lagi soal pendewasaan. Untuk jadi sama dewasanya dengan orang tua kita, kita sama-sama paham jalannya tidak mudah. Bagaimana bisa nantinya kita bisa membagi waktu dengan baik padahal harus mengurus anak, harta, pekerjaan, makanan, kebersihan, bahkan kesehatan diri sendiri? Padahal, saat ini saja mungkin kita saja sudah kesulitan untuk mengatur kesibukan. Apalagi soal menjaga kesehatan dan pola makan. Artinya, pasti ada sebuah proses yang perlu dijalani.

Menjadi Dewasa

Aku dulu pernah berpikir begini, “Ah rasanya enak ya jadi orang dewasa. Tidak perlu dimarahi. Tidak diatur ini itu. Mereka bebaslah melakukan apapun!” Apakah kalian juga pernah berpikir yang sama? Wkwkwk.

Yang aku iri kan adalah menjadi dewasa itu menyenangkan karena mereka punya kebebasan. Namun, sebagai anak kecil aku tidak terbayang jika kebebasan itu tidak serta merta bebas melakukan apapun. Ada namanya konsekuensi tanggung jawab. Mungkin kalau di buku atau artikel tentang Pendidikan Kewarganegaraan kita sering menjumpai istilah kebebasan yang bertanggung jawab. Mereka yang dewasa memang memiliki kebebasan, tetapi mereka juga harus bertanggung jawab dengan kebebasan itu.

Saat perkuliahan, aku baru tahu jika yang namanya klub malam atau bar itu benar-benar ada (bukan karena aku pernah kesana, ya!). Namun, mendengar cerita teman atau orang lain sekarang, rasanya cukup kaget saja ketika mendengar itu. Ya wajar juga sih, mereka yang ke sana (mungkin teman dari teman atau siapapun itu) karena mereka sudah memiliki kebebasan. Sudah jauh dari orang tua (karena berkuliah atau bekerja mungkin).

Contoh lain lagi ketika kita melihat berita kakak-kakak kita yang cukup prestatif karena lomba dan magang dimana-mana. Mereka bisa intern di kota-kota besar yang mungkin jauh dari rumah, ikut IISMA ke luar negeri, atau lomba keliling Indonesia, kemanapun. Mereka jauh dari rumah, tetapi bisa memberikan prestasi secemerlang itu. Apakah mereka ketika persiapan lomba atau IISMA itu tidak memikirkan bagaimana mereka harus mengatur diri untuk menjaga kesehatannya? Kebugarannya? Pelajaran yang tertinggal di kelas? Atau bagaimana menjaga ibadahnya?

Semakin dewasa, semakin banyak cabang hidup yang bisa ditempuh. Mau ngeklub atau ngelomba juga pilihan masing-masing. Cara agar kita bisa semakin bertanggung jawab dengan kehidupan yang semakin bebas ini adalah dengan proses pendewasaan. Proses pendewasaan ini (bagaimana pada akhirnya kita bisa mengatur diri dengan baik) adalah suatu hal yang harusnya menjadi tujuan hidup semua manusia. Memangnya ada yang mau selamanya menjadi anak kecil? Mungkin ada, tetapi bukan karena diri mereka mau. Biasanya karena terbayang trauma atau satu dan lain hal masalah. Secara normal, manusia ingin tumbuh dewasa.

Proses Pendewasaan

Proses pendewasaan yang baik butuh tidak sekadar pengalaman dan praktik langsung, tetapi ilmu. Yang paling baik adalah jika dipadu dengan ilmu agama agar semakin paham tujuan hidup kemana. Waktu kecil kita tidak terlalu merasakan mungkin bedanya orang yang biasa salat dengan tidak, toh kita juga belum balig dan belum ada kewajiban salat waktu itu. Namun, semenjak kesini, terasa sekali dampak orang-orang yang melibatkan ibadah dan Tuhan dalam kegiatan dengan tidak. Bahkan, sebagai fakta aku pun juga pernah ditanya seorang teman,

“Lu kenal orang yang bisa nanganin krisis iman ngga ya? Terutama kalo pertanyaannya nyambung ke arah filsafat, ketuhanan, gitu-gitu. Gw ngerasa butuh bantuan banget soalnya”

Persoalan keimanan memang tidak dipungkiri semakin menjadi persoalan ketika dewasa. Wajar sih, semakin dewasa artinya semakin bebas. Semakin bebas, artinya juga benar-benar bebas. Ibarat berjalan di gurun pasir. Tanpa kompas dan peta, kita mungkin tidak akan tahu mau kemana di gurun itu.

Nah, ngomong-ngomong soal pendewasaan ini artinya kita harus tahu ilmu pendewasaan. Sebenarnya bagaimana sih jadi dewasa yang benar? Apa yang seharusnya dilakukan ketika ini itu? Bagaimana caranya mengatur waktu? emosi? mental? Banyak pertanyaan ini cukup terjawab saat aku mempelajari tentang pernikahan.

Belajar Pranikah

Hal yang paling mudah untuk belajar menjadi dewasa yang baik adalah belajar membayangkan menjadi seorang ayah ibu. Bagaimana transformasi sikap mereka yang juga pernah sama bandelnya ketika kecil seperti kita, tetapi bisa cukup tenang dan kuat membesarkan kita. Untuk itu, belajar tentang pernikahan adalah hal yang baik.

Jika kamu membayangkan belajar pernikahan itu hanya belajar tentang bagaimana caranya membuat rumah tangga semakin “enak” itu salah. Sebab, menikah harusnya tidak cuma enaknya. Bahkan, kata ustad Felix Siauw, lebih bagus lagi kalau kita belajar juga tentang parenting. Sebab, biasanya belajar pernikahan itu hanya mengisahkan secuil bagian dari persoalan suami dan istri. Namun, saat bicara parenting, kita akan semakin ditampar dengan persoalan mendidik dan memberi teladan.

“Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya” — Peribahasa

Secara sekilas, ternyata memang kelakuan anak diturunkan dari orang tuanya. Mereka meniru bagaimana cara orang tuanya marah. Apa yang menyebabkan mereka marah, anak juga akan marah karena itu. Begitu pula tentang cara bahagia.

Saat kita belajar tentang pernikahan, kita akan lebih paham ruang-ruang apa saja yang sebenarnya penting untuk kita perhatikan. Setelah itu, kita tahu tentang ruang mana yang ternyata masih perlu kita introspeksi. Ternyata, kita akan seketika beralih dari cuma pandangan ingin menikah dengan doi secara menggebu-gebu, kini menjadi sebuah pandangan yang lebih jelas tentang kekurangan yang masih ada dan berpotensi membuat masalah rumah tangga ketika menikah dengan doi.

Masalah rumah tangga mungkin bukanlah hal yang bisa ditiadkan. Rasulullah saja pernah ada masalah dengan istrinya. Namun, itu bukan untuk dihindari. Masalah ini sangat bisa dimitigasi. Bagaimana kita tahu cara menghadapi dan memitigasi masalah itulah yang menjadi ilmu tersendiri yang akan sangat baik jika dipelajari dari sekarang, sebelum menikah. Bagaimana aku tahu jika itu lebih baik dipelajari sekarang? Tentu dari testimoni orang-orang yang aku baca juga dalam ilmu yang aku pelajari tadi.

Seorang Ayah. Sumber : Pinterest

Jadi Kesimpulannya, Apakah Aku Harus Cepat Menikah?

Tidak juga! Justru, semakin aku membaca dan memelajari ilmu ini, aku tidak semakin tergebu-gebu begitu saja. Rasanya seperti semakin jelas harus apa dan apa dulu sebelum ke sana. Untuk teman-teman yang membaca ini, aku tidak tahu apa yang bisa kalian dapatkan.

Namun, aku ingin menyampaikan pesan :

  1. Tidak ada yang salah tentang mempelajari menikah dari sekarang. Terbukti bukan berarti belajar ini kita jadi langsung ingin cepat menikah, seolah-olah belajar nikah hanya diberi tahu enaknya saja. Justru, belajar pernikahan membuat kita semakin terbayang cara memperbaiki kedewasaan diri, terlepas nanti kita akan ditakdirkan Allah menikah atau tidak. Bukankah tugas manusia hanya untuk terus memperbaiki diri?
  2. Jika kamu adalah orang yang cukup memiliki trauma dengan menikah karena masa lalu, sering mendengar pendapat orang tentang childfree, atau dirimu sendiri ingin tidak menikah, mungkin coba pelajari dulu ilmu ini. Aku tidak berharap juga kamu akan berubah. Aku tetap setuju jika semua orang bebas menentukan pilihannya. Tidak menikah juga tidak serta merta membuatmu masuk neraka. Apalagi, menikah itu bukan masuk rukun Islam, bukan? Namun, setidaknya jalan pikir kita harus benar dulu. Kita harus mempertimbangkan ilmu pernikahan dalam keputusan kita. Apapun keputusannya, jika jalan pikir dan ilmu kita sudah lengkap, aku merasa pilihan itu akan jadi semakin berdasar saja. Kamu tidak akan menjadi seolah-olah orang yang berteriak di media sosial tentang childfree atau apapun itu tanpa memiliki dasar lengkap dan malah menakut-nakuti orang yang ingin menikah.
  3. Jika ada teman-teman yang ngeroasting, “Cie kamu mau nikah ya baca ginian”, hadapi dengan santai saja. Ini bagian dari pendewasaan bukan? Mungkin respon teman kita seperti itu karena mereka belum siap menikah atau juga masih tabu untuk belajar tentang pernikahan. It’s okay. Namun, jika dibalik sudut pandanganya, kita sebagai teman juga harus tau cara merespon kondisi yang benar. Kita bisa bersikap lebih supportif, misalnya dengan menanyakan apa yang teman kita sudah dapatkan atau tentang rencana dia sendiri ke depan. Bisa juga dengan tidak perlu menghina atau me-roasting dia karena memang itu bukan tindakan kriminal, kan? Namun, jika tidak, diam juga tidak kalah bagus.

Pesan terakhir adalah silakan teman-teman ambil hikmahnya dan buang buruknya dari tulisan ini. Mungkin, ini tulisan yang sensitif dan berpotensi menimbulkan banyak persepsi saat dirilis ke teman-teman. Namun, aku hanya ingin membagikan sudut pandang orang yang sedang mempelajari ini bagaimana isinya. Terima kasih untuk kalian yang sudah membaca sampai habis dan tidak setengah-setengah. Semoga Allah selalu lindungi kita dalam upaya menjadi best version of us!

Bonus rekaman kelas pranikah RK buat yang mau nyimak!

Pre-Marriage Class Series #1: Visi & Misi Pernikahan bersama Adi Wahyu Adji:
https://www.youtube.com/live/uHgUDEIKvG0?si=RhVZ6DP-wmdsMI9J

Pre Marriage Class Series #2: Dasar Menikah bersama Amar Ar-Risalah:
https://youtube.com/live/F7-HKSdYe0M?feature=share

Tentang Katapudin

Halo, perkenalkan namaku Pudin, seorang mahasiswa Sistem dan Teknologi Informasi di Institut Teknologi Bandung saat ini. Aku sangat suka menulis tentang hidup, teknologi, buku, serta hal-hal random lainnya dan mulai menulis di Medium sejak 2022.

Sebagai orang yang sering overthinking dan overanalysis, menulis sangat membantuku berpikir lebih baik sekaligus menyebarkan pemikiranku kepada banyak orang. Aku suka berdiskusi dan juga punya mimpi besar untuk membuat Indonesia yang lebih baik dan bermartabat.

Hubungi aku lebih jauh di Instagram. Mari kita berkoneksi, berdiskusi, dan bersama-sama membangun Indonesia yang lebih baik!

--

--

Kata Pudin

Sastra Teknologi dan Informasi || Terbit setiap Kamis sore