Aku Pergi Jauh Dari Rumah

Tentang Kejahatan dan Demoralisasi

Kata Pudin
7 min readJun 6, 2024

Konon katanya, memang tinggal jauh dari orang tua itu cukup menantang. Kita diharuskan mengatasi masalah yang baru kita sadari muncul setelah kemandirian hidup itu. Memang, kebebasan sangat menguntungkan, sekaligus menggelapkan. Namun, apakah memang ancaman itu hanya berupa ketidakmampuan diri kita menjaga diri? Atau ada ancaman lain? Bagaimana dengan demoralisasi?

Traveller. Sumber : Pinterest

Semakin dewasa, artinya kita semakin dianggap bisa bertanggung jawab terhadap hidup. Setidaknya, mayoritas masyarakat menganggap begitu. Begitu pula ketika aku berkuliah di ITB yang jauh dari rumah, tentu izin dan restu orang tua untuk berkuliah di sini bukan karena tidak berdasar. Menimbang semakin dewasanya aku, orang tua pun juga cukup percaya akan kemampuan kita bisa menjaga diri masing-masing.

Nah, persoalan pergi jauh dari rumah, memang tidak semua orang tua mengamini hal yang sama. Di ITB sendiri, ada juga temanku yang berasal dari Bandung sendiri (warga lokal). Bukan karena memang ITB sudah bagus, tetapi ada juga yang memang karena tidak diizinkan jauh dari rumah. Namun, banyak juga perantau seperjuangan yang berasal tidak hanya dari pulau Jawa, tetapi juga Sumatra, Kalimantan, hingga Papua.

Namun, suatu rahasia umum jika biasanya persoalan izin akan berbeda untuk gender yang berbeda. Perempuan yang biasanya mendapatkan izin lebih rumit daripada laki-laki. Buktinya saja, ada temanku yang sedekat jarak Jabodetabek (sekitar 3 jam perjalanan darat), orang tuanya dengan berat hati melepas anak perempuannya itu. Yang membuat mereka melepas anaknya adalah keberadaan kerabat di Bandung yang masih membuat hatinya bisa berharap. Namun, ada juga perempuan yang datang dari jauh, seperti Padang, Jambi, Aceh, bahkan Papua yang dilepas kedua orang tuanya ke Bandung.

Tentang Kekhawatiran Orang Tua

Cukup wajar bukan orang tua berat hati melepas buah hatinya yang dilahirkan dan dirawat dengan keringat, bahkan darah, harus dilepas jauh dari mereka. Apa yang menjadi kekhawatiran mereka?

Orang tua mengkhawatirkan tentang bagaimana anak-anaknya nanti bisa menjaga dirinya. Sebab, kebanyakan kebutuhan hidup mereka mayoritas selalu dipenuhi oleh orang tua sejak kecil. Mereka khawatir, “Bagaimana jika mereka lupa makan?”, “Bagaimana jika mereka nanti sakit?”, “Bagaimana jika mereka terjebak hujan di suatu tempat saat keluar? Siapa yang akan menjemput mereka?”, “Bagaimana jika ini?”, “Bagaimana jika itu?”, dst. Secara umum, mereka khawatir akan kemampuan anaknya untuk menjaga diri.

Kekhawatiran ini cukup wajar memang. Siapa sih yang rela buah hati yang sudah dirawat susah-susah itu harus kenapa-napa nantinya? Perjuangan dan pengorbanan belasan bahkan puluhan tahun itu bisa saja kandas hanya karena keputusan untuk melepas anak. Bagaimana jika mereka justru semakin buruk kondisinya di sana? Jika yang rusak mesin cuci, itu bisa dibeli lagi walaupun harus bayar cicilan lima tahun. Namun, jika anak yang rusak atau tiada, bukankah itu tidak bernilai harganya?

Bagi orang tua, anak adalah harta yang paling berharga.

Ancaman-ancaman yang potensi terjadi kepada anak memang menjadi kekhawatiran tersendiri. Mulai dari kekhawatiran tentang menjaga kesehatan, pola makan, manajemen waktu, stres, kebahagiaan, hingga tentang menghindari tindak kejahatan. Berbagai ancaman jangka pendek tersebut menjadi momok bagi hampir seluruh orang tua.

Namun, sadarkah jika tidak banyak orang tua yang cukup concern untuk mewaspadai ancaman jangka panjang bagi anaknya. Apa itu? Salah satunya adalah demoralisasi, penurunan moral seseorang akibat lingkungan dan kebiasaan.

Privillege dan Konsekuensi Hidup Merantau

Sebelum membahas demoralisasi lebih jauh, aku ingin mengungkit soal privillege dan konsekuensi dari kedewasaan dan jauhnya kita dari orang tua. Pada umumnya, semakin dewasa atau semakin jauh dari orang tua kita, kita akan menerima sebuah privillege, yaitu kebebasan. Namun, begitu pula akan ada konsekuensi, yaitu kita harus mau mengurus diri kita sendiri sepenuhnya. Memangnya, se-privillege apakah kebebasan itu?

Dulu, saat kita kecil mungkin pernah membayangkan, “Wah enak ya jadi orang dewasa. Bisa ini dan itu sesuai kemauan mereka. Tidak perlu tidur siang atau diatur-atur sepertiku.” Sadar atau tidak, kita sebenarnya iri dengan kebebasan orang dewasa. Kebebasan ini sangat menyenangkan (ketika dibayangkan), serasa kita bisa memenuhi apapun yang menjadi keinginan kita di waktu itu. Apapun.

Walaupun, kita tidak tahu di balik kebebasan itu ada konsekuensi yang cukup berat, yaitu tanggungan terhadap diri sendiri. Tanggung jawab ini bukan hanya sekadar masalah fisik saja, tetapi juga bertanggung jawab atas ruhiyah dan moral pribadi masing-masing. Bukankah ada istilah dalam Pendidikan Kewarganegaraan tentang “Kebebasan yang bertanggung jawab?” Apalagi dengan adanya gaungan kalimat ini, seakan-akan konsekuensi kebebasan tidak hanya berkaitan dengan diri sendiri, tetapi juga tentang ruang gerak kita yang tidak boleh sampai mencederai orang lain. Cukup kompleks memang untuk dipahami dengan baik oleh seorang anak kecil.

Nah, lantas yang menjadi pertanyaan, memangnya kebebasan itu bisa mengarah pada demoralisasi? Bukankah justru kebebasan menguntungkan kita?

Semengancam Apa Demoralisasi?

Demoralisasi menurut KBBI bisa bermakna kemerosotan akhlak atau kerusakan moral. Moral sendiri merupakan sebuah prinsip atau pemahaman tentang baik buruknya suatu hal. Moral secara eksplisit biasanya hanya diajarkan di bangku sekolah dasar atau taman kanak-kanak. Namun, seiring semakin dewasa, banyak orang merasa pemahaman moral sudah menjadi tanggung jawab masing-masing. Padahal, banyak kasus kejahatan, termasuk korupsi, di Indonesia terjadi memang karena faktor moral. Sebegitu berpengaruh ini moral, walaupun memang cukup remeh dalam konteks kedewasaan dibandingkan membahas karir dan pencapaian.

Kebebasan memberikan banyak ruang bagi diri kita untuk menentukan tindakan, moral yang kita pegang, hingga bagaimana cara diri kita membentuk moral. Pergaulan, kebiasaan, dan tindakan kita membentuk moral yang kita pahami. Bisa jadi, moral yang sudah terbentuk akan bergeser nantinya. Jika bergesernya menjadi moral yang buruk, hal ini yang disebut demoralisasi.

Coba pikirkan lebih dalam tentang moral. Mungkin setiap orang punya standar moral yang berbeda-beda. Salah satu faktornya tentu adalah keluarga. Apakah moral yang diajarkan pada kita? Apa harapan orang tua tentang moral kita? Apa yang mereka harapkan setelah kita diberi kebebasan ini? Aku yakin, setiap orang tua ingin yang terbaik untuk anaknya, termasuk moralnya nanti. Banyak orang tua yang menyesal atas moralnya sendiri di masa lalu yang kemudian mendorong mereka menyekolahkan anak-anaknya di pondok, sekolah islam, bahkan cuma pondok kilat dengan harapan memberikan pelajaran moral yang benar pada anaknya. Walaupun memang tidak semua orang tua memahami tanggung jawab mendidik moral prioritasnya adalah tanggung jawab orang tua, setidaknya harapan mereka tegar pada harapan agar moral anaknya baik.

Bayangkan, jika kita dulu anak yang rajin ibadah, setelah kuliah bisa jadi malas-malasan karena teman-teman kita demikian. Jika kita dulu orang yang suka berbicara santun dan sopan, sekarang kita sering menambahkan slank-slank yang kasar setelah bergaul jauh dari rumah. Bahkan, jika dulu kita hanya berani sembunyi-sembunyi mengagumi lawan jenis, sekarang kita bisa staycation berdua saja sebelum nikah. Bukankah ini agak mengganjal hati kita?

Rasanya, dalam kebebasan yang dimiliki saat ini, sangat tidak sesuai jika kita membiarkan demoralisasi ini terjadi pada diri kita. Ada beberapa faktor alasannya. Pertama, memang karena faktor orang tua. Bayangkan semua harta, keringat, dan darah yang orang tua kita keluarkan hanya untuk berharap anaknya menjadi orang yang sukses dengan moral yang sebaik atau bahkan lebih baik dari kedua orang tuanya, kita balas semua pengorbanan itu dengan demoralisasi ini. Bayangkan saja jika itu terjadi pada anak kita nanti. Sesakit apa hati mereka nantinya?

Kedua, karena faktor kenyamanan pribadi. Fitrahnya manusia itu adalah berbuat salah. Namun, mengetahui jika mereka berbuat salah itu adalah sebuah akibat dari sedikit ketidaknyamanan yang terasa dalam hati. Pasti. Tidak mungkin tidak, orang yang melakukan kesalahan, sekecil apapun, pasti merasakan sedikit ketidaknyamanan dalam hatinya. Perihal dihiraukan atau tidak, itu urusan berikutnya. Namun, refleks Tuhan inilah yang harusnya menjadi warning manusia dalam mewaspadai tindakannya dan akibatnya akan moral diri sendiri.

Terakhir, karena faktor keturunan. Mungkin faktor ini masih berhubungan dengan faktor pertama soal orang tua. Sebab, kini posisi kita bukan pada anak lagi, tetapi orang tua. Bayangkan jika kita punya anak, memangnya kita lebih memilih memiliki anak yang baik atau anak yang bermoral bejat seakan-akan orang paling hina di dunia? Aku yakin tidak yang kedua. Sebab, kita bisa dicap telah melahirkan seorang manusia hina. Manusia paling tidak bermanfaat. Penambah beban negara. Lantas, jika ini berlanjut, ancaman lainnya adalah sebuah lingkaran setan tentang keturunan yang tidak bermoral. Apakah mau kita dicap sebagai orang yang melahirkan keturunan para manusia tidak bermoral nantinya? Yang setiap generasinya selalu mengalami demoralisasi?

Penjagaan Moral

Setiap dari diri kita pernah bayi. Fase paling suci dari seorang manusia. Kenapa Tuhan menciptakan semua bayi itu suci? Kenapa tidak jika bapak ibunya tidak bermoral, bayi itu adalah bayi yang berdosa? Karena, Tuhan memfitrahkan manusia itu diciptakan dalam keadaan suci, tanpa dosa. Dalam bahasan pemrograman, this is the default setting of system. Kemudian, baru manusia sendiri yang memikul tanggung jawab atas kemoralan dirinya. Dengan segala fitrah lainnya tentang manusia yang sering berbuat salah, apakah kita akan berusaha senantiasa menuju moral yang baik atau moral yang buruk?

Ingatlah, jika sebagaimana moral adalah tanggung jawab pribadi, kebebasan juga amanah pribadi. Ini adalah amanah yang harus digunakan agar tidak mencederai pemiliknya. Apakah tidak merugi, ibarat jika kita diberikan pisau yang bisa untuk memotong daging untuk memasak steak terlezat di dunia, tetapi justru kita pakai untuk melukai diri sendiri? Itulah pentingnya kita memiliki guidance tentang kebebasan ini.

Petunjuk atau guidance akan kebebasan ini bisa kita rujuk pada agama. Lagi-lagi, ini yang menjadi alasan kenapa Tuhan hadirkan agama, kitab, nabi, dan segala perangkat rohani lainnya untuk membantu manusia. Tujuannya tidak lain tidak bukan adalah merujuk pada Penjagaan Moral.

Dalam Islam sendiri, tahu kan apa yang pertama kali ditanyakan dalam kubur? Salat! Kenapa bisa begitu? Karena, salat itu mencegah dari yang buruk dan yang munkar. Oleh karena itu, salat adalah bentuk penjagaan moral. Ternyata, yang ditanya di kubur adalah bukan perkara moral, tetapi tentang penjagaan moral.

Al-Ankabut (29) ayat 45. Sumber : Quran NU

Jadi, bagaimana dirimu memanfaatkan kebebasan ini? Apakah kamu sudah mewaspadai demoralisasi ini?

Tentang Katapudin

Halo, perkenalkan namaku Pudin, seorang mahasiswa Sistem dan Teknologi Informasi di Institut Teknologi Bandung saat ini. Aku sangat suka menulis tentang hidup, teknologi, buku, serta hal-hal random lainnya dan mulai menulis di Medium sejak 2022.

Sebagai orang yang sering overthinking dan overanalysis, menulis sangat membantuku berpikir lebih baik sekaligus menyebarkan pemikiranku kepada banyak orang. Aku suka berdiskusi dan juga punya mimpi besar untuk membuat Indonesia yang lebih baik dan bermartabat.

Hubungi aku lebih jauh di Instagram. Mari kita berkoneksi, berdiskusi, dan bersama-sama membangun Indonesia yang lebih baik!

--

--

Kata Pudin

Sastra Teknologi dan Informasi || Terbit setiap Kamis sore